Foto Berjas Dan Berdasi Perempuan

Foto Berjas Dan Berdasi Perempuan

©2024 iStockphoto LP. Desain iStock adalah merek dagang iStockphoto LP.

Hanya orangTanpa orang

PotretSeluruh tubuhProfilPotret lebih lebar

Hanya orangTanpa orang

PotretSeluruh tubuhProfilPotret lebih lebar

©2024 iStockphoto LP. Desain iStock adalah merek dagang iStockphoto LP.

Oleh: Dr. Mukhaer Pakkanna | Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta

“Banyaknya perempuan buruh di industri rokok atau buruh tembakau menandakan sejatinya perempuan buruh dan masyarakat miskin perokok justru memberikan sumbangsih sangat besar terhadap keuntungan superjumbo pemilik modal.”

Tanggal 31 Mei dikenal sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Gerakan ini diinisiasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 1987. Secara imperatif, WHO menyerukan agar para perokok berpuasa merokok (mengisap tembakau) selama 24 jam, serentak di seluruh dunia.

Bagi WHO, peringatan ini bertujuan menarik perhatian publik terkait kebiasaan merokok dan efek buruknya pada kesehatan. Mengonfirmasi WHO (2018), diestimasi, kebiasaan merokok setiap tahun memantik kematian sebanyak 7,2 juta jiwa. Indonesia adalah salah satu negara produsen tembakau dan ”surga” konsumen rokok terbesar yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), berupa kesepakatan global pengendalian tembakau di negara masing-masing. Padahal, fakta miris menyebutkan, kelompok anak-anak dan remaja cukup banyak terpapar rokok.

Menukil studi Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pusat Kajian Jaminan Nasional Universitas Indonesia, ada 33,03 persen pemuda usia 18-24 tahun menjadi perokok aktif, disusul usia 39 tahun sebanyak 41,75 persen. Sementara perokok paling aktif berada pada usia 25- 38 tahun, yakni 44,75 persen.

Bahkan, data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018 menyebutkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 8,7 persen pada 2024.

Maka, jika pola dan kebiasaan ini diteruskan, hampir bisa dipastikan sepuluh tahun ke depan usia anak-anak dan remaja, persentase perokok aktifnya akan lebih dominan, dan tentu mengancam nasib bonus demografi. Kemiskinan

Terdapat fakta dalam pelbagai studi relasi rokok dan kemiskinan bahwa terjadi surplus ekonomi masyarakat kelas bawah bergeser menjadi surplus ekonomi pemilik modal (industri rokok).

Dalam pendekatan teori strukturalis, Andre Gunder Frank (1978) menyebut disarticulated socio-economic structure, di mana masyarakat miskin (perokok, buruh industri, dan buruh tembakau) berkontribusi signifikan mendongkrak surplus profitabilitas industri rokok besar. Ihwal ini tidak jauh berbeda dengan sistem cultuurstelsel (tanam paksa) zaman VOC di Hindia Belanda.

Justifikasi historis seperti itu telah mengonfirmasi fakta-fakta teranyar. Pertama, harga rokok di Indonesia termasuk salah satu negara termurah setelah Nigeria, Kazakhstan, Pakistan, Vietnam, Armenia, Paraguay, dan Ghana (2021). Sementara komposisi perokok di dunia, 80 persen adalah negara-negara miskin dan berkembang. Di antara negara-negara tersebut, Indonesia dan Timor Leste meraih predikat pertama atau baby smoker countries untuk jumlah pria perokok di atas 15 tahun.

Merujuk data The Tobaco Atlas (2018), 66 persen pria di Indonesia adalah perokok. Artinya, dua dari tiga pria usia di atas 15 tahun adalah perokok.Sementara perokok paling aktif berada pada usia 25- 38 tahun, yakni 44,75 persen.

Kedua, merujuk hasil riset Lembaga Studi Demografi UI, banyak rumah tangga termiskin atau berpenghasilan rendah di Indonesia terperangkap konsumsi rokok; sebanyak tujuh dari sepuluh rumah tangga (hampir 70 persen) memiliki pengeluaran membeli rokok. Sementara enam dari sepuluh rumah tangga termiskin (57 persen) memiliki pengeluaran membeli rokok.

Ketiga, hasil Survei Sosial Ekonomi BPS (2021) merujuk data alokasi belanja rokok yang dikeluarkan masyarakat telah melampaui besaran belanja beras. Rokok masih menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia. Rata-rata pengeluaran rokok dan tembakau sebesar Rp 76.583 per kapita per bulan pada Maret 2021. Konsumsi rokok tersebut terkerek 4,3 persen dari Rp 73.442 per kapita per bulan pada Maret 2020.Selain itu, pengeluaran rokok merupakan yang kedua tertinggi di antara kelompok pengeluaran lainnya.

Keempat, data kemiskinan BPS (September 2022) mengungkapkan kontribusi rokok kretek filter terhadap garis kemiskinan di kota sebesar 11,10 persen per September 2022. Sementara itu, di desa, sumbangannya 10,48 persen.

Data ini berbicara, orang dikategorikan miskin banyak yang mengonsumsi rokok. Namun, bukan berarti orang kaya tak merokok. Bagi mereka, share pengeluaran rokok ini sangat kecil dibandingkan pengeluaran barang mewah lain karena kurvanya inelastic demand. Kontras fakta miris itu, kinerja tiga pemain besar industri rokok di Tanah Air, yakni PT Sampoerna Tbk, PT Gudang Garam Tbk, dan PT Djarum, terdongkrak signifikan. PT HM Sampoerna Tbk, misalnya, dalam laporan keuangan 2022 menorehkan laba kotor Rp 17,16 triliun dan penjualan bersih Rp 111,21 triliun atau naik 12,48 persen. Sejak dibeli Philip Morris International pada 2005, Sampoerna Tbk menunjukkan rerata pertumbuhan laba bersih per tahun hingga 13 persen.

Demikian juga PT Gudang Garam Tbk membukukan laba bersih Rp 2,77 triliun (2022) dari tahun sebelumnya sebesar Rp 5,60 triliun. Selanjutnya, PT Djarum, melalui anak-anak perusahaannya, makin agresif menjadi pemain di pelbagai sektor bisnis, seperti e-commerce, properti, media, hingga sektor perkebunan/pertanian. Dalam proses produksi tembakau dan rokok, kontribusi perempuan memainkan peran penting.

Dalam proses produksi tembakau dan rokok, kontribusi perempuan memainkan peran penting. Meminjam riset Bank Dunia (2018), sebaran wilayah dalam hal penyediaan lapangan kerja di pabrikan tembakau 94 persen terkonsentrasi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Lebih spesifik, terdapat beberapa daerah yang mayoritas menggantungkan serapan tenaga kerja di industri hasil tembakau (IHT) seperti Kudus (30 persen), Temanggung (27,6 persen), dan Kediri (26 persen). Mayoritas pekerja yang ada di IHT ini, perempuan berusia muda, terutama untuk produksi rokok sigaret kretek tangan (SKT).

Menukil riset Ratna Saptari (2020) dengan mengambil kasus perempuan buruh pabrik rokok HM Sampoerna (Surabaya dan Jombang), ditemukan pabrik rokok lebih banyak mempekerjakan perempuan daripada laki-laki. Alasannya, pekerja laki-laki banyak terlibat di serikat buruh dan kerap melakukan aksi mogok kerja sehingga dianggap dapat menghambat proses produksi.

Dalam industri ini, para buruh dituntut mengikuti suatu standar kerja yang mengharuskan mereka untuk memproduksi rokok sesuai target. Bahkan, rerata perempuan buruh bekerja 12 jam dengan rincian tujuh jam bekerja di sektor publik sebagai buruh pabrik dan lima jam bekerja di sektor domestik, sehingga jam kerja perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki.

Bahkan, merujuk laporan Kebijakan Penelitian Bank Dunia (2015), pada umumnya di beberapa negara berkembang, jam kerja per hari perempuan lebih lama satu jam atau lebih daripada laki-laki. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia, para perempuan buruh pabrik rokok bekerja 12 jam per hari dan suaminya bekerja 10 jam per hari.

Padahal, Konvensi ILO Nomor 100 menunjukkan, upah yang dimaksud tidak hanya upah pokok, tetapi juga tunjangan untuk kesejahteraan lain yang diberikan perusahaan kepada perempuan pekerja. Dalam praktiknya, tunjangan perempuan buruh yang sejatinya memperoleh tunjangan kesejahteraan ditiadakan, seperti tidak mendapatkan tunjangan kesejahteraan bagi suami dan anaknya.

Dalam perspektif jender, pemberian upah yang rendah bagi perempuan pekerja disebabkan perempuan diposisikan sebagai pekerja yang bersedia diberi upah rendah. Mereka dianggap bukan penghasil utama dan hanya merupakan pencari nafkah kedua (komplementer). Selain itu, ada anggapan, perempuan buruh mudah diatur dan rendah daya resistansinya (Uli, 2005). Kondisi diskriminasi perempuan sebagai buruh industri rokok dan tembakau makin menjustifikasi bahwa perempuan di ranah publik (industri) masih menjadi obyek eksploitatif dari rezim pemilik modal besar.

Padahal perempuan, terutama ibu rumah tangga berkeluarga, dibebani tiga fungsi simultan (triple burden of women), yakni harus melakukan fungsi reproduksi, produksi, dan fungsi sosial di masyarakat (Sadli et al, 2008).

Secara nasional, merujuk data resmi Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas, Agustus 2019), kondisi perempuan sebagai pekerja keluarga merupakan gambaran dari keadaan riil ketenagakerjaan di Indonesia.

Kaum perempuan berumur 15 tahun ke atas umumnya memiliki kegiatan mengurus rumah tangga (36,43 persen), dan membantu menambah penghasilan dengan ikut bekerja membantu kepala rumah tangga sebagai ”pekerja keluarga”. Dalam Profil Perempuan Indonesia (2019), persentase perempuan berstatus pekerja keluarga 33,30 persen, sedangkan lelaki cukup kecil, 7,70 persen. Kaum perempuan identik dengan kemiskinan. Banyaknya perempuan buruh di industri rokok atau buruh tembakau menandakan sejatinya perempuan buruh dan masyarakat miskin perokok justru memberikan sumbangsih sangat besar terhadap keuntungan superjumbo yang diperoleh pemilik modal raksasa industri rokok.

Ketidakadilan seperti itu harus diakhiri, dengan cara menaikkan harga rokok, meningkatkan literasi pengendalian tembakau dan rokok, buat ekosistem hidup sehat tanpa asap rokok, serta kemauan politik dan konsistensi pemerintah untuk menyelamatkan bonus demografi kita.

Tulisan ini diterbitkan Kompas.id pada 3 Juni 2023 (https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/02/rokok-kemiskinan-dan-perempuan)

©2024 iStockphoto LP. Desain iStock adalah merek dagang iStockphoto LP.